Blogger Widgets

Kamis, 29 Maret 2012

Haruskah Selalu Dituruti

 
HARUSKAH SELALU DITURUTI
Oleh : Budhy Lestari, S Psi, Psi
(Pengelola Psikolog Kelompok Bermain PELANGI dan Biro Psikologi OBSESI )

“Nggak mau, ade maunya beli mainan itu bunda… “ ucap si kecil Salsa sambil menangis dan tangannya tak henti-hentinya menunjuk mainan yang diinginkannya. Keeesokan harinya, ada kejadian lain lagi “Bunda, aku mau permennya Kak Anis. Nggak mau yang ini, punya,  ade nggak enak.” Betapa repotnya orang tua ketika si anak menangis meronta-ronta apalagi di  tempat umum dengan tangisan yang tak kunjung reda…
Respon yang wajar ketika si kecil rewel karena keinginannya tidak  dituruti. Anak-anak juga memiliki emosi dan pada masa usia dini sedang berkembang berbagai gejolak emosi. Hal ini merupakan pertanda kalau perkembangan emosi anak berjalan normal dan wajar karena anak telah memberikan respon atas apa yang dialaminya. Hanya saja responnya akan berbeda dengan kita sebagai orang dewasa yang sudah lebih dapat mengelola dan mengontrol keinginan  secara lebih tepat.

Berbeda dengan respon yang dilakukan anak-anak, mereka ada kecenderungan ketika memiliki keinginan, sesegera mungkin minta dituruti dan apabila tidak akhirnya ia menjadi rewel atau emosi. Ini menunjukkan bahwa anak-anak belum dapat mengelola dan mengontrol keinginannya dengan tepat seperti halnya orang dewasa.
Pada dasarnya, kondisi ini dapat kita latih melalui proses pembinaan sejak dini supaya kebiasaan ini lebih melekat pada benak anak. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami bersama:
1.    Adanya keselarasan pola asuh antara orang tua dan orang-orang yang turut andil dalam proses pengasuhan anak di rumah. Mengapa ini penting? Apabila tidak ada keselarasan dalam pola asuh, dengan kata lain ada perbedaan prinsip atau pandangan akan membingungkan anak dalam menentukan sikap dan secara alamiah dia akan cenderung mencari peluang yang membuat dia berada pada zona “nyaman”. I
Sebagai contoh ibu cenderung bersikap selektif dalam memilih “jajanan” yang sehat. Ketika anak  merengek-rengek (kebetulan pilihannya yang tidak sehat), maka ibu tidak menurutinya dan anak pun menangis. Ibu pun mengalihkan perhatian anak ke hal lain ,kemudian memberikan alternatif pilihan sambil membujuk anak untuk membeli jajan yang lain. Sementara mungkin bapak cenderung segera menuruti daripada anak menangis dan rewel. Biasanya esoknya apabila anak memiliki keinginan lain dan tidak dituruti, maka cenderung akan berperilaku serupa (dan mungkin lebih heboh nangisnya) dan akhirnya menjadikan menangis sebagai “senjata” agar keinginannya terpenuhi. Di sinilah peran pentingnya penyelarasan (kompromi) pola asuh antara ayah dan ibu.
2.    Anak perlu dibiasakan agar dapat mengelola keinginannya. Ada tiga kategori keinginan anak:
a.    Keinginan yang pemenuhannya sesegera mungkin. Misal, anak meminta   makan dan minum karena lapar dan haus, maka sesegera mungkin kita penuhi karena jika tidak akan mengganggu kesehatannya.
b.    Keinginan yang tertunda pemenuhannya. Misal, anak menginginkan sesuatu yang sifatnya tidak penting (meminta dibelikan sepatu baru padahal yang lama masih bagus), maka kita usahakan supaya pemenuhannya sengaja kita tunda dengan mengatakan “Ya, Insya Allah, ibu akan membelikan, tapi tidak sekarang karena … (sampaikan alasan yang tepat), besok saja kalau saat kenaikan kelas adik dapat nilai baik, sebagai hadiah ibu belikan sepatu baru”
Hal ini bisa kita jadikan latihan supaya anak memiliki konsep berpikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu perlu berusaha terlebih dahulu dan semoga dapat memotivasi anak belajar lebih rajin.
c.    Keinginan yang tidak perlu dituruti karena cenderung berbahaya. Misal, anak meminta dibelikan petasan atau makanan yang sudah kadaluwarsa. Biasanya respon anak menangis. Bertahap kita beri alternatif pilihan atau dialihkan perhatiannya. Di saat anak sudah mulai reda menangisnya, lalu coba kita beri pengertian kenapa kita melarangnya.
3.    Perlu komitmen bersama antara orang tua dalam bersikap dan ini dilakukan secara berkelajutan.
Maksudnya adalah sekali orang tua berkata “Beli jajanannya yang ini saja, ya?” (karena lebih sehat), untuk selanjutnya pun bersikap demikian ketika anak  meminta jajan akan lebih selektif memilih mana jajanan yang sehat. Atau misalnya anak meminta menonton televisi saat jam belajar. Kita melarangnya, tapi kemudian justru kita yang gantian menonton televisi tersebut sementara anak diminta belajar. Ini sangat tidak efektif untuk memenuhi perilaku anak.
Apabila ada kemajuan perilaku pada anak atas usaha yang kita lakukan bersama, maka sebaiknya ini diiringi dengan kita memberikan penghargaan (reward)  moral, misal dengan acungan jempol, pujian dan sekali tempo kita berikan hadiah dalam bentuk barang yang disukai anak. Bila perlu sampaikan kepada anak sembari memberikan hadiah: “Karena Kakak hebat, tadi menurut sama ibu, ini ibu punya roti kesukaan Kakak”.

0 comments:

Posting Komentar